Dalam penulisan Aksara Jawa, terdapat perbedaan signifikan antara 're' (aksara swara 're', e.g., ꦫꦺ) dan 'pa cerek' (e.g., ꦉ). Keduanya memiliki bunyi yang mirip namun digunakan dalam konteks yang berbeda. Jika Anda ingin menulis nama 'Sri' (seperti dalam 'Sri Sultan Hamengkubuwono') dan 'resik' (bersih), mengapa penggunaan 'pa cerek' untuk 'Sri' tidak tepat, dan apa implikasinya jika keliru menggunakannya?

'Pa cerek' (ꦉ) secara fonetis mewakili bunyi 're' tanpa vokal yang jelas, sering digunakan untuk 're' pada awal kata atau di tengah sebagai konsonan mati yang disisipi vokal `e` pepet. Untuk 'Sri', bunyi 'r' langsung diikuti vokal 'i', sehingga harus menggunakan 'sa' (ꦱ) yang disandangi 'cakra' (ꦿ) dan 'wulu' (ꦶ) menjadi ꦱꦿꦶ. Keliru menggunakan 'pa cerek' akan mengubah pelafalan dan makna.

Dalam kisah pewayangan Mahabarata, Pandawa seringkali dihadapkan pada pilihan sulit antara mematuhi perintah yang tidak adil atau mempertahankan kebenaran dan keadilan. Contohnya, Yudhistira yang harus memilih antara kebenaran dharma atau kesetiaan kepada guru Durna yang berpihak pada Kurawa. Konflik ini merepresentasikan prinsip filosofis 'Dharma vs. Adharma'. Apa pelajaran etis paling esensial yang dapat diambil dari dilema Pandawa ini untuk pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari?

Bahwa dalam menghadapi dilema, kebenaran (dharma) dan keadilan harus selalu menjadi prioritas utama, bahkan jika itu berarti mengorbankan kepentingan pribadi atau melanggar kesetiaan yang keliru.

Latihan Soal Simulasi Ujian Nasional - bahasa_daerah Kelas 9

No. 1

Upacara 'Tedhak Siten' dalam budaya Jawa adalah ritual yang menandai pertama kalinya seorang anak menginjakkan kaki ke tanah. Upacara ini melibatkan berbagai simbol seperti anak yang dimasukkan ke dalam kurungan ayam dengan mainan di dalamnya, menginjak jadah (jenang) tujuh warna, dan disiram air kembang. Apa makna filosofis paling relevan dari upacara Tedhak Siten ini yang dapat diinterpretasikan sebagai bekal hidup bagi anak di masa depan?