Kesenian tradisional "Wayang Kulit" menghadapi tantangan globalisasi. Di satu sisi, eksposur global melalui media digital dan festival internasional meningkatkan apresiasi terhadap Wayang Kulit. Di sisi lain, adaptasi untuk menarik penonton global (misalnya, penggunaan bahasa Inggris, penyingkatan durasi, atau perubahan alur cerita) dikhawatirkan mengikis otentisitas dan nilai-nilai filosofis aslinya.Bagaimana dilema ini dapat disikapi secara bijaksana untuk menjaga kelestarian Wayang Kulit di era globalisasi?